Surakarta – Wakil Bupati Jombang, Wiwin Sumrambah, angkat bicara terkait kebijakan skema beras satu harga yang diberlakukan secara nasional. Menurutnya, kebijakan tersebut justru merugikan dua pihak penting dalam ekosistem pangan: petani sebagai produsen, dan masyarakat sebagai konsumen.
Dalam pernyataannya, Wiwin menilai bahwa skema satu harga yang diberlakukan tanpa mempertimbangkan kondisi lokal dan fluktuasi biaya produksi di berbagai daerah berpotensi menekan pendapatan petani. Di sisi lain, konsumen juga tidak mendapatkan keuntungan berarti karena harga tetap tidak mencerminkan efisiensi distribusi dan produksi.
“Kebijakan satu harga ini terkesan menyamaratakan kondisi yang sangat beragam. Padahal, biaya produksi beras di Jombang bisa berbeda jauh dengan di daerah lain. Akhirnya, petani tidak dapat keuntungan yang semestinya, sementara konsumen pun tidak menikmati harga yang wajar,” ujar Wiwin, Selasa (5/8/2025).
Petani Tidak Terlindungi, Konsumen Tidak Diuntungkan
Wiwin menekankan bahwa dalam realitasnya, petani kerap dipaksa menjual hasil panennya dengan harga yang rendah karena mekanisme pasar tidak bekerja secara adil. Dengan skema satu harga, ruang negosiasi harga menjadi sempit, sementara biaya pupuk, benih, dan tenaga kerja terus meningkat.
Di sisi lain, konsumen juga tidak mendapatkan harga beras yang murah. Biaya distribusi, pengepakan, dan rantai pasar yang panjang tetap membuat harga beras di pasaran sulit turun secara signifikan.
“Ini bukan soal idealisme kebijakan, tapi soal keadilan ekonomi. Kalau petani rugi, produksi pangan bisa terancam. Kalau konsumen terbebani, daya beli akan menurun. Keduanya harus sama-sama dilindungi,” tambahnya.
Perlu Evaluasi dan Skema Harga Fleksibel
Wiwin menyarankan agar pemerintah pusat melakukan evaluasi menyeluruh terhadap skema satu harga ini. Ia menilai perlunya mekanisme harga yang lebih fleksibel dan adaptif dengan kondisi geografis, biaya produksi, serta musim tanam.
Menurutnya, pendekatan yang lebih kontekstual akan lebih efektif dalam menjamin keberlanjutan produksi beras nasional, sekaligus menjamin keterjangkauan harga bagi masyarakat.
“Setiap daerah punya tantangan yang berbeda. Harga diatur bukan berarti seragam, tapi harus bisa menyesuaikan dengan realita lapangan. Kalau perlu, buat skema harga berjenjang berdasarkan zona produksi,” paparnya.

Baca juga: Bank Jateng Syariah Perkuat Digitalisasi Zakat Bersama BAZNAS Jateng
Dampak Jangka Panjang
Jika kebijakan ini terus dipaksakan tanpa perbaikan, Wiwin mengkhawatirkan akan terjadi penurunan minat petani untuk menanam padi. Hal ini bisa berdampak serius terhadap ketahanan pangan nasional.
“Petani butuh kepastian bahwa hasil kerjanya dihargai. Jangan sampai kebijakan ini membuat mereka beralih ke komoditas lain atau bahkan berhenti bertani,” tuturnya.
Wiwin juga mengingatkan pentingnya mendengarkan aspirasi petani dan pelaku pasar lokal sebelum menetapkan kebijakan nasional, agar tidak terjadi ketimpangan yang semakin memperlebar kesenjangan ekonomi.
Penutup
Melalui kritik ini, Wiwin Sumrambah berharap pemerintah dapat membuka ruang dialog yang lebih terbuka dengan daerah, khususnya dengan para petani. Ia menegaskan bahwa kebijakan pangan haruslah berpihak pada kesejahteraan petani dan keterjangkauan harga bagi rakyat.
“Jangan sampai kebijakan yang niatnya mulia malah jadi bumerang. Sudah saatnya mendesain ulang strategi harga pangan yang lebih adil dan realistis,” pungkasnya.