Surakarta Mobil Esemka Second Hadir di PN Solo, Bukti Wanprestasi atau Ujian bagi Janji Pejabat?
Surakarta- Persidangan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait janji produksi mobil Esemka kembali menarik perhatian publik. Kali ini, penggugat, Aufaa Luqmana Re A, menghadirkan langsung sebuah mobil Esemka Bima Pickup bekas (second) sebagai barang bukti di Pengadilan Negeri (PN) Solo.
Baca Juga : One Piece Jadi Simbol Perlawanan di Indonesia
Kehadiran mobil tersebut bukan tanpa maksud. Kuasa hukum Aufaa, Sigit N Sudibyanto, menjelaskan bahwa langkah ini merupakan upaya untuk menegaskan bahwa janji-janji pejabat publik harus bisa dipertanggungjawabkan—bahkan melalui jalur hukum.
“Pejabat tidak bisa semena-mena membuat janji lalu mengabaikannya. Ini adalah test case untuk menguji hubungan antara rakyat yang memberi mandat dan pejabat yang berkewajiban menepati janjinya. Jika mereka ingkar, rakyat berhak menagihnya melalui pengadilan,” tegas Sigit di hadapan majelis hakim.
Mobil Second sebagai Bukti Kesulitan dan Inkonsistensi
Mobil Esemka Bima Pickup yang dihadirkan dalam persidangan bukanlah unit baru, melainkan bekas yang dibeli penggugat dari Jakarta. Sigit menjelaskan, hal ini sengaja dilakukan untuk membuktikan betapa sulitnya masyarakat mendapatkan mobil Esemka dalam kondisi baru.
“Konteks gugatan ini adalah wanprestasi (ingkar janji). Dengan menghadirkan mobil second, kami ingin menunjukkan bahwa jika pun masyarakat ingin memiliki Esemka, mereka terpaksa membeli bekas karena produksi massalnya tidak berjalan sesuai janji,” paparnya.
Sebelumnya, penggugat juga mengajukan permohonan pemeriksaan setempat ke pabrik Esemka. Namun, majelis hakim menolak dengan alasan bahwa sengketa ini bukan terkait tanah atau properti.
“Hakim perlu melihat kebenaran materiil, bukan hanya formil. Dalam sengketa tanah, pemeriksaan setempat penting untuk mengukur luas dan lokasi. Tapi dalam kasus ini, yang kami perjuangkan adalah akuntabilitas janji publik,” jelas Sigit.
Pabrik Esemka Sepi Aktivitas Produksi?
Aufaa, sang penggugat, sebelumnya telah mendatangi pabrik Esemka dengan mengendarai mobil second yang dibelinya. Hasil pengamatannya, tidak ada aktivitas produksi massal di sana.
“Saat kami kunjungi, tidak terlihat produksi atau penjualan. Yang ada hanya layanan servis seperti ganti oli dan tune-up. Ini memperkuat argumen kami bahwa janji produksi massal tidak terwujud,” ungkap Sigit.
Optimisme Penggugat Ujian bagi Janji Politik
Meski dianggap sebagai gugatan yang tidak biasa, tim kuasa hukum Aufaa optimistis bisa memenangkan perkara ini. Mereka menilai, rangkaian pernyataan Jokowi—sejak masih menjadi Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden—telah menimbulkan ekspektasi publik yang tidak terpenuhi.
“Dari peresmian besar-besaran hingga kerja sama dengan PT SMK, semuanya terkesan hanya pencitraan. Tidak ada realisasi nyata. Dengan menghadirkan mobil second ini, kami ingin hakim melihat langsung bukti bahwa janji itu tidak ditepati,” tegas Sigit.
Apa Dampaknya bagi Politik Janji di Indonesia?
Kasus ini bisa menjadi preseden penting dalam mempertanyakan akuntabilitas janji-janji pejabat publik. Jika pengadilan memenangkan penggugat, bukan tidak mungkin akan muncul gugatan serupa terhadap janji-janji politik lain yang tidak direalisasikan.
Namun, di sisi lain, pemerintah mungkin akan berargumen bahwa produksi mobil nasional menghadapi banyak kendala teknis dan pasar. Bagaimanapun, persidangan ini tetap menjadi sorotan, bukan hanya soal Esemka, tetapi juga seberapa jauh rakyat bisa menuntut janji dari pemimpinnya.